Article Detail

Guru Mendidik, Guru Dihardik

Tidak mudah menjadi guru jaman sekarang. Guru mencubit siswa dipidanakan dan divonis bersalah di pengadilan. Guru memarahi siswa berujung mukanya  babak belur dihajar orangtua. Jauh sebelum itu,  seorang ibu guru dipotong rambutnya oleh orangtua siswa sebagai balas dendam karena ibu guru itu memotong rambut anaknya di sekolah.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa hubungan  guru dengan orangtua kini bermasalah? Mengapa tindakan guru yang diyakini dilakukan untuk mendidik anak tiba-tiba ditolak oleh orangtua, bahkan dinyatakan melanggar hukum oleh pengadilan? Apa yang salah dengan guru-guru kita?

Keterlibatan Orangtua

               Kasus guru mencubit siswa diadili di pengadilan menyedot perhatian publik yang luas. Ada pro kontra terhadap yang apa dilakukan guru, ada pula yang menyalahkan sikap orangtua. Tindakan orangtua siswa melaporkan guru ke kepolisian dianggap tidak wajar dan keterlaluan.

Tindakan orangtua di atas secara nyata menunjukkan ada problem serius dalam hubungan sekolah dan orangtua. Bagaimana kita harus memahami fenomena ini?  Menurut Hargreaves dan Leslie Lo hubungan guru dengan orangtua yang ditandai dengan kecemasan, ketegangan dan kesalahpahaman. Guru dan orangtua memiliki harapan yang berbeda terkait bagaimana pembelajaran di sekolah dan bagaimana mereka harus mendukung satu sama lain (Hargreaves dan Leslie Lo, 2000).

Hubungan guru dengan orangtua berubah seiring waktu, dulu orangtua cenderung mengambil jarak dengan sekolah (silent partnerships). Orangtua percaya penuh apapun yang dilakukan guru di sekolah. Kini jaman berubah, tingkat pendidikan orangtua meningkat dan akses internet makin mudah membuat orangtua memiliki sumberdaya (informasi dan jejaring) untuk mengkritisi apapun yang dilakukan guru di sekolah.

Pendek kata ada kelompok orangtua mulai menggeseser posisinya dari silent partnerships ke active partnerships.  Problemnya adalah bagaimana posisi baru itu harus dikembangkan?

Pertama soal bentuk  keterlibatan orangtua di sekolah. Menurut Eipstein ada 6 bentuk keterlibatan orangtua dengan sekolah; parenting, communicating, volunteering, learning at home, decision making dan collaborating with community (Eipstein, 2002).  Ini yang harus dipikirkan sekolah, bagaimana orangtua yang peduli, kritis dan ingin berkontribusi bisa bergabung dalam berbagai bentuk kegiatan yang ada.

Kedua soal tujuan bahwa hubungan kerjasama guru dan orangtua adalah untuk meningkatkan mutu pendampingan anak. Dunia berubah, dunia anak dan tantangan yang dihadapi anak juga berubah. Guru dan orangtua dapat saling belajar bagaimana mendampingi anak.

Kini bukan jamannya lagi orangtua maupun guru merasa lebih mengerti bagaimana mendampingi anak di tengah kehidupan yang makin kompleks ini. Sikap merasa paling benar sendiri baik oleh guru maupun orangtua justru kontraproduktif bagi upaya meningkatkan mutu pendampingan anak.

Mindset Lama

Kekerasan fisik sebagai hukuman guru pada siswa pernah menjadi metode dominan guru dalam menegakkan kontrol di kelas. Itu masa lalu,  masa ketika guru masuk kelas membawa buku di tangan kiri dan rotan di tangan kanan.

Itulah masa ketika siswa yang mendapatkan pukulan tidak berani bercerita ke orangtuanya. Itu hanya akan memunculkan amarah orangtua, bahkan akan mendatangkan hukuman tambahan. Ini bentuk


reinforcing, orangtua memperkuat “pelajaran berharga” yang telah dilakukan guru di sekolah.

Tetapi itu dulu, kini orangtua mulai tidak setuju anaknya mendapatkan kekerasan di sekolah. Alih-alih memberikan reinforcement, orangtua justru melakukan aksi balas dendam baik secara fisik maupun melalui proses verbal di kepolisian.

Guru terkejut, dalih mendidik tidak lagi dapat dipakai untuk membenarkan tindakannya. Guru terkejut ada Undang-undang Perlindungan Anak yang seakan-akan merampas otonominya sebagai pendidik di kelas.

Kini kita hidup di abad 21, dunia berubah, nilai-nilai berubah, masyarakat berubah dan guru pun harus ikut berubah. Sejalan dengan itu Linch dan Smith merumuskan konsep learning management baru. Learning Management is defined as the capacity to achieve learning outcomes in all learnings and is best understood by the Learning Management Schema. It comprises  three capability elements; knowledge based, mindset and strategic creativity (Linch dan Smith, 2010)

Knowledge base adalah kumpulan pengetahuan dan skill yang harus dikuasai seorang guru. Agar selalu relevan maka pengetahuan dan skill guru harus selalu up to date, baik pengetahuan bidang studi maupun pedagogi.

Mindsets adalah cara pandang yaitu bagaimana guru memandang persoalan yang dihadapi hari ini, apakah dia berpikir ke depan atau ke belakang. Guru tradisional cenderung berpikir ke belakang. Strategic creativity, berkaitan dengan kemampuan untuk terus memperbaiki mutu pekerjaannya yaitu kemampuan  untuk memahami persoalan, mencari solusi baru dan menerapkan cara-cara baru.

Kembali ke soal kekerasan di sekolah, vonis bersalah guru mencubit siswa di Sidoarjo, Jawa Timur harusnya menyadarkan para guru bahwa kekerasan yang dilakukan pendidik di sekolah –apapun bentuknya- kini  tidak dapat ditolerir lagi. Sikap para guru yang kecewa, galau  dan menganggap vonis ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan hanyalah menunjukkan bahwa para guru – meminjam istilah Linch dan Smith- masih berkutat dengan mindset lama.

Vonis ini seharusnya bisa menjadi momentum bagi para guru untuk sampai pada kesadaran; oke berarti cara-cara lama kini sudah tidak dapat digunakan lagi. Guru harus mencari dan belajar kembali tentang bagaimana mengelola problem perilaku siswa di kelas tanpa menggunakan kekerasan. Pengetahuan dan kemampuan guru terkait classroom management  harus diupdate lagi.

Membongkar, membuang dan melupakan pengetahuan lama serta menggantikannya dengan pengetahuan baru memang tidaklah mudah. Tetapi ini penting, seperti kata Alvin Toffler “The illiterate of the 21st Century are not those who cannot read and write but those who cannot learn, unlearn and relearn.” Bila kata-kata bijak Toffler ini tidak juga mampu menginspirasi para guru, mungkin kata-kata berikut ini akan lebih mengena;  “Mau Berubah atau Masuk Penjara?

 
RJ Sulistyanta
Kepala Divisi Pendidikan
Yayasan  Tarakanita
Wilayah Bengkulu
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment